Cerpen Pramuka | Pulang - Alfiah Sundara
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, kulirik jendela kamarku yang telah terbuka sehingga cahaya matahari membangunkanku. Mungkin si Mbok telah membukanya ketika aku masih terlelap tidur. Seketika aku bangun dari tempat tidurku dan langsung bergegas mandi.
Kutatap bayangan diriku di cermin. ‘Pucat’ ketika aku menatap wajahku sendiri, aku hanya tersenyum tipis seraya mengoleskan lipgloss pink ke bibirku. Mungkin kini, ada sedikit warna yang tergambar di wajahku berkat lipgloss ini. Kulirik jam yang terletak di atas meja riasku, pukul 06.30. Aku langsung berlari menghampiri jendela kamarku, dan melakukan rutinitas yang setiap hari aku lakukan. Di luar jendela terlihat anak-anak seumuranku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, kutatapi anak-anak yang lewat dari atas sampai bawah, aku tersenyum sendiri ketika membayangkan, aku memakai seragam sekolah seperti mereka juga. Seketika suara si Mbok membangunkanku dari lamunan.
“Rachel…” sambil membuka pintu kamarku.
“Kenapa Mbok?”
“Ayo sarapan, tuan dan nyonya sudah menunggu” jelasnya,
“Kenapa Mbok?”
“Ayo sarapan, tuan dan nyonya sudah menunggu” jelasnya,
Aku langsung menghampirinya lalu mengikutinya ke ruang makan. Di sana memang sudah ada orangtuaku yang menunggu, mereka menyunggingkan senyuman kepadaku, aku pun membalasnya.
“Apa kau tidur nyenyak sayang?” tanya ibuku sambil menyondorkan segelas susu.
“Hmm” aku tersenyum.
“Ayah apa aku boleh minta sesuatu?” tanyaku.
“Kau ingin apa?” dia membalas bertanya sambil melahap rotinya.
“Aku ingin berhenti Home Schooling dan sekolah seperti anak-anak lain” rengekku.
“Sayang, kau ha-”
“Ayah, aku sehat, aku baik-baik saja, tidak akan ada yang terjadi…” potongku.
“Ayah kumohon, bukankah sebentar lagi ulang tahunku?”
“Ini yang kumau” Lanjutku.
“Apa kau tidur nyenyak sayang?” tanya ibuku sambil menyondorkan segelas susu.
“Hmm” aku tersenyum.
“Ayah apa aku boleh minta sesuatu?” tanyaku.
“Kau ingin apa?” dia membalas bertanya sambil melahap rotinya.
“Aku ingin berhenti Home Schooling dan sekolah seperti anak-anak lain” rengekku.
“Sayang, kau ha-”
“Ayah, aku sehat, aku baik-baik saja, tidak akan ada yang terjadi…” potongku.
“Ayah kumohon, bukankah sebentar lagi ulang tahunku?”
“Ini yang kumau” Lanjutku.
Terdengar Ayah membuang napas pelan, menatap kedua lensa mataku dengan tatapan sendunya. Ibu hanya menatap kami bergantian, matanya menggambarkan semburat kekhawatiran akan jawaban yang dilontarkan ayahku. Aku terus memohon dalam hati agar permohonanku dikabulkan.
“Ayah akan pikirkan nanti, sekarang ayah harus berangkat kerja” Balasan yang tidak kuinginkan.
“Jangan lupa minum obat ya” lanjutnya lagi.
Dia beranjak dari tempat duduknya. Aku masih lekat menatap ayahku. Dia hanya tersenyum lalu mengusap rambutku lembut. Aku menatapi punggung ayahku yang beranjak pergi, lalu membuang napas kasar karena kecewa.
“Jangan lupa minum obat ya” lanjutnya lagi.
Dia beranjak dari tempat duduknya. Aku masih lekat menatap ayahku. Dia hanya tersenyum lalu mengusap rambutku lembut. Aku menatapi punggung ayahku yang beranjak pergi, lalu membuang napas kasar karena kecewa.
“Ini, minumlah” ibuku memberikanku beberapa obat dan segelas air putih.
(Cerpen Karangan:Alfiah Sundara)
Aku menatap malas obat-obat itu. Ingin sekali kusingkirkan obat ini dari hadapanku. Bisakah aku tak meminumnya untuk kali ini saja?. Sudah tujuh tahun aku meminum ini semua, penyakit kanker darah yang kuderita sejak umurku sembilan tahun, membuat kondisiku seperti ini. Bukan hanya fisik yang berubah, tapi juga pola kebiasaan hidupku. Aku tidak sebebas dulu untuk keluar rumah, bahkan ayahku mengambil keputusan untuk pendidikanku melalui Home Schooling, lebih tepatnya keputusan sepihak, karena itu aku selalu melihat anak-anak yang bersekolah dari jendela kamarku. Hanya sedikit teman yang kupunya, bahkan mungkin tidak ada karena mereka melupakanku. Kadang aku merasa hanya sendiri di antara jutaan manusia yang hidup di kota ini.
“Kenapa belum diminum?” tanya ibuku, lalu duduk di sebelahku.
Aku menggeleng “Haruskah aku meminumnya bu?” aku sekedar bertanya.
“Ini pahit, kenapa harus selalu kumakan?” lanjutku sambil menatap obat yang berada di hadapanku.
Ibuku terdiam, sambil menatap ke arahku. Aku tahu sebenarnya, jawaban dari pertanyaan bodohku itu, hanya saja kali ini aku merasa lelah dengan semuanya, aku hanya ingin meluapkannya saja. Kupalingkan wajahku ke arah ibuku. Matanya sedikit berkaca-kaca. Dia tersenyum tulus ke arahku.
“Mau ibu buatkan teh manis, supaya tidak pahit?” dia membelai rambutku dengan tangan hangatnya.
“Tidak usah bu, akan kuminum” ucapku.
Aku menggeleng “Haruskah aku meminumnya bu?” aku sekedar bertanya.
“Ini pahit, kenapa harus selalu kumakan?” lanjutku sambil menatap obat yang berada di hadapanku.
Ibuku terdiam, sambil menatap ke arahku. Aku tahu sebenarnya, jawaban dari pertanyaan bodohku itu, hanya saja kali ini aku merasa lelah dengan semuanya, aku hanya ingin meluapkannya saja. Kupalingkan wajahku ke arah ibuku. Matanya sedikit berkaca-kaca. Dia tersenyum tulus ke arahku.
“Mau ibu buatkan teh manis, supaya tidak pahit?” dia membelai rambutku dengan tangan hangatnya.
“Tidak usah bu, akan kuminum” ucapku.
Kutelan obat itu satu persatu. Rasa ini sudah tidak asing lagi di lidahku. Bahkan baunya pun sudah kukenal jelas di indera penciumanku. Rasa dan bau yang kubenci, namun tetap saja harus kurasakan.
“Rachel…” teriak ibuku dari luar kamarku.
“Kenapa bu?” tanyaku saat dia ada di hadapanku.
“Ada Ibunya Andra di ruang tamu, dia mau bersilaturahmi, Rachel juga harus menemuinya” Jelas Ibuku.
“Andra? Temen SD ku?” aku berusaha mengingat namanya.
“Iya, yang dulu suka main ke rumah”
“Sudah, mending temui saja dulu, nanti juga ingat” Lanjutnya, Ibuku menarik lenganku.
“Kenapa bu?” tanyaku saat dia ada di hadapanku.
“Ada Ibunya Andra di ruang tamu, dia mau bersilaturahmi, Rachel juga harus menemuinya” Jelas Ibuku.
“Andra? Temen SD ku?” aku berusaha mengingat namanya.
“Iya, yang dulu suka main ke rumah”
“Sudah, mending temui saja dulu, nanti juga ingat” Lanjutnya, Ibuku menarik lenganku.
‘Andra’, teman main kecilku dulu sebelum aku menderita penyakit ini. Dia sangat dekat denganku, tapi dulu. Dan ibunya pun cukup dekat dengan ibuku.
“Ehh ini Rachel”
“Sudah besar ya sekarang” ucapnya saat melihatku, aku tersenyum.
“Sudah lama gak bertemu ya tante” sapaku lalu bersalaman dengannya.
“Iya, gara-gara kalian pindah jadi jarang bertemu” ucapnya lagi, aku dan ibu tertawa kecil.
“Andranya gak diajak Mir?” tanya Ibuku, ‘Mira’ nama ibu Andra.
“Ada tuh di depan gak mau masuk, malu katanya” Tante Mira menunjuk ke pintu luar rumahku.
“Kenapa harus malu?”
“Coba deh kamu ajak dia masuk, atau ajak dia ngobrol di bangku depan supaya dia gak bosan” Ibu menyikutku.
“Iya, sekalian silahturahmi kan sudah lama gak ketemu” ucap Tante Mira.
Aku mengangguk lalu beranjak keluar rumah. Ada sedikit keraguan yang menyelimutiku ketika aku melangkah keluar. Apa dia akan mengingatku?. Tapi aku harus berbuat apa lagi, yang benar saja jika aku harus menolak suruhan ibuku di depan Tante Mira.
“Sudah besar ya sekarang” ucapnya saat melihatku, aku tersenyum.
“Sudah lama gak bertemu ya tante” sapaku lalu bersalaman dengannya.
“Iya, gara-gara kalian pindah jadi jarang bertemu” ucapnya lagi, aku dan ibu tertawa kecil.
“Andranya gak diajak Mir?” tanya Ibuku, ‘Mira’ nama ibu Andra.
“Ada tuh di depan gak mau masuk, malu katanya” Tante Mira menunjuk ke pintu luar rumahku.
“Kenapa harus malu?”
“Coba deh kamu ajak dia masuk, atau ajak dia ngobrol di bangku depan supaya dia gak bosan” Ibu menyikutku.
“Iya, sekalian silahturahmi kan sudah lama gak ketemu” ucap Tante Mira.
Aku mengangguk lalu beranjak keluar rumah. Ada sedikit keraguan yang menyelimutiku ketika aku melangkah keluar. Apa dia akan mengingatku?. Tapi aku harus berbuat apa lagi, yang benar saja jika aku harus menolak suruhan ibuku di depan Tante Mira.
Seorang pria bertubuh tinggi dengan rambut spikeynya sedang berdiri menyender di sebuah pilar rumahku. Sepertinya Andra banyak berubah. Aku bermaksud mendekatinya perlahan, tetapi dia sepertinya sadar akan kehadiranku. Dengan refleks aku menatapnya. Dia tersenyum, sepertinya dia mengingatku.
‘Dia mengingatku’ Batinku.
‘Dia mengingatku’ Batinku.
(Cerpen Karangan:Alfiah Sundara)
“Hai” sapaku sedikit canggung.
“Hai, lama gak bertemu ya” ucapnya, sedikit tersenyum lebar.
“Iya, sini duduk” ajakku.
“Sekarang kau sekolah dimana?” aku sedikit bingung untuk menjawabnya.
Aku menggeleng “Aku Home Schooling sekarang”.
“Kenapa?” Aku semakin bingung untuk menjawabnya. Kuhela napasku perlahan.
“Aku sakit, Leukimia” aku tersenyum ke arahnya. Dia menatapku tanpa bersuara. Kurasakan suasana yang menyelimuti kami semakin menjadi canggung. Aku tahu apa yang sekarang dipikirannya. Kusenderkan tubuhku ke punggung kursi.
“Rachel, aku-”
“Tidak apa-apa kok, tenang aja” potongku.
“Kau sendiri sekarang sekolah dimana?” Aku berusaha mencairkan suasana.
“Di SMA 1” Balasnya
“Dekat dengan rumahku dong” aku tersenyum sedikit antusias.
“Kau banyak berubah ya” dia menatapku sambil sedikit menyelidikku.
“Kau juga, sangat banyak” Balas.
Kami larut dalam perbincangan yang menurutku sangat mengasyikkan. Berbagai topik kami bicarakan. Sampai akhirnya Tante Mira keluar dari rumah dan mengajak Andra untuk pulang. Tante Mira berpamitan kepada aku dan ibu.
“Hai, lama gak bertemu ya” ucapnya, sedikit tersenyum lebar.
“Iya, sini duduk” ajakku.
“Sekarang kau sekolah dimana?” aku sedikit bingung untuk menjawabnya.
Aku menggeleng “Aku Home Schooling sekarang”.
“Kenapa?” Aku semakin bingung untuk menjawabnya. Kuhela napasku perlahan.
“Aku sakit, Leukimia” aku tersenyum ke arahnya. Dia menatapku tanpa bersuara. Kurasakan suasana yang menyelimuti kami semakin menjadi canggung. Aku tahu apa yang sekarang dipikirannya. Kusenderkan tubuhku ke punggung kursi.
“Rachel, aku-”
“Tidak apa-apa kok, tenang aja” potongku.
“Kau sendiri sekarang sekolah dimana?” Aku berusaha mencairkan suasana.
“Di SMA 1” Balasnya
“Dekat dengan rumahku dong” aku tersenyum sedikit antusias.
“Kau banyak berubah ya” dia menatapku sambil sedikit menyelidikku.
“Kau juga, sangat banyak” Balas.
Kami larut dalam perbincangan yang menurutku sangat mengasyikkan. Berbagai topik kami bicarakan. Sampai akhirnya Tante Mira keluar dari rumah dan mengajak Andra untuk pulang. Tante Mira berpamitan kepada aku dan ibu.
“Pulang dulu ya” ucap Andra.
“Iya, hati-hati”
“Boleh dong, aku main lagi ke sini” Dia tersenyum.
Aku hanya mengangguk sambil sedikit tertawa.
“Iya, hati-hati”
“Boleh dong, aku main lagi ke sini” Dia tersenyum.
Aku hanya mengangguk sambil sedikit tertawa.
Perlahan mobil yang Andra kendarai menjauh dari rumahku. Aku tersenyum sendiri mengingat pembicaraanku bersama Andra. Sampai akhirnya Ibu menyuruhku masuk.
“Ayo masuk na”
“Iya bu” aku mengikuti ibuku masuk ke rumah.
“Ayo masuk na”
“Iya bu” aku mengikuti ibuku masuk ke rumah.
Dari pertemuan itu, kami menjadi dekat. Andra bahkan jadi sering mengunjungiku ke rumah untuk sekedar mengobrol atau mengajakku keluar tak jauh dari rumah, tentu saja harus meminta izin kepada orangtuaku dulu. Rasa sepi yang tujuh tahun menyelimutiku kini mulai sedikit terobati.
Suatu hari, aku dan Andra terduduk di balkon rumahku. Semilir angin malam menerpa wajahku dengan lembut. Aku hanya tersenyum sambil melihat ke langit malam. Tak kusangka malam ini banyak bintang yang bertaburan di langit Bandung. Aku menoleh ke arah Andra. Dia hanya menatap lurus ke depan sambil sesekali memainkan jarinya. Kualihkan pandanganku ke langit kembali. Sebuah bintang jatuh melintasi langit yang memang tak sengaja sedang kunikmati.
“Ada bintang jatuh Dra” aku menunjuk ke arah bintang itu.
“Iya, jarang sekali ya” ucapnya sambil meminum teh hangat yang memang sudah disiapkan ibuku.
“Kau tidak memohon sesuatu?”
“Apa sih Hel? Itu kan hanya mitos” dia sedikit tersenyum geli.
“Tapi setidaknya kita coba saja”
“Bagaimana jika ada keajaiban” Lanjutku.
“Baiklah”
Andra menurutiku. Kusebutkan keinginanku satu persatu di dalam hati. Berharap suatu hari keinginnan ini akan terkabul sepenuhnya sebelum aku menutup mata selamanya. Suatu keinginan yang mungkin cukup untuk mengobati rasa hampa selama tujuh tahun di hatiku.
“Iya, jarang sekali ya” ucapnya sambil meminum teh hangat yang memang sudah disiapkan ibuku.
“Kau tidak memohon sesuatu?”
“Apa sih Hel? Itu kan hanya mitos” dia sedikit tersenyum geli.
“Tapi setidaknya kita coba saja”
“Bagaimana jika ada keajaiban” Lanjutku.
“Baiklah”
Andra menurutiku. Kusebutkan keinginanku satu persatu di dalam hati. Berharap suatu hari keinginnan ini akan terkabul sepenuhnya sebelum aku menutup mata selamanya. Suatu keinginan yang mungkin cukup untuk mengobati rasa hampa selama tujuh tahun di hatiku.
“Memangnya kau ingin apa?” tanya Andra.
“Hanya keinginan kecil, mungkin bisa dikatakan bodoh” balasku.
“Apa itu?” Aku menatapnya.
“Ada banyak Dra, gak berarti lagi, yakin mau denger”
“Sebutin aja kali Hel, aku dengerin kok”
“Pertama, aku ingin berdiri di dua tempat sekaligus”
“Kedua, aku ingin merasakan hujan membasahiku dan hanya beralaskan rumput”
“Ketiga, aku ingin merasakan bagaimana sensasi jauh dari rumah dan bermain hanya bersama teman, seperti anak-anak lain”
“Keempat, aku ingin bersekolah memakai seragam”
“Dan yang terakhir…” sejenak aku terdiam. Bersiap untuk mengatakannya
“Apa?” Dia mengernyitkan keningnya.
“Aku ingin ada sebuah ke ajaiban untuk penyakitku, sehingga aku tidak menjadi beban untuk orang-orang di sekelilingku”
Andra membulatkan matanya. Kurasakan mataku memanas, tapi masih bisa kutahan supaya air mata tak jatuh membasahi pipiku. Aku tersenyum ke arahnya. Andra ikut tersnyum, senyuman yang terlihat sangat tulus.
“Permohonan yang gila kan?” aku tersenyum pahit. Andra hanya terdiam.
“Ayo, kita wujudkan keinginanmu” ucap Andra dengan wajahnya yang sedikit melukiskan semangatnya.
“Bisakah itu terwujud?” aku tersenyum. Dia mengangguk yakin.
“Hanya keinginan kecil, mungkin bisa dikatakan bodoh” balasku.
“Apa itu?” Aku menatapnya.
“Ada banyak Dra, gak berarti lagi, yakin mau denger”
“Sebutin aja kali Hel, aku dengerin kok”
“Pertama, aku ingin berdiri di dua tempat sekaligus”
“Kedua, aku ingin merasakan hujan membasahiku dan hanya beralaskan rumput”
“Ketiga, aku ingin merasakan bagaimana sensasi jauh dari rumah dan bermain hanya bersama teman, seperti anak-anak lain”
“Keempat, aku ingin bersekolah memakai seragam”
“Dan yang terakhir…” sejenak aku terdiam. Bersiap untuk mengatakannya
“Apa?” Dia mengernyitkan keningnya.
“Aku ingin ada sebuah ke ajaiban untuk penyakitku, sehingga aku tidak menjadi beban untuk orang-orang di sekelilingku”
Andra membulatkan matanya. Kurasakan mataku memanas, tapi masih bisa kutahan supaya air mata tak jatuh membasahi pipiku. Aku tersenyum ke arahnya. Andra ikut tersnyum, senyuman yang terlihat sangat tulus.
“Permohonan yang gila kan?” aku tersenyum pahit. Andra hanya terdiam.
“Ayo, kita wujudkan keinginanmu” ucap Andra dengan wajahnya yang sedikit melukiskan semangatnya.
“Bisakah itu terwujud?” aku tersenyum. Dia mengangguk yakin.
(Cerpen Karangan:Alfiah Sundara)
Langit yang sedikit mendung, di hari Minggu Pagi ini. Andra datang dengan membawakanku sebatang cokelat. Tanpa alasan yang jelas dia ingin berbicara dengan orangtuaku. Dia berkata, aku akan tahu alasannya nanti.
“Ada apa Andra?” tanya ayahku dengan ramah.
“Pak, saya mau meminta izin membawa Rachel keluar, sebentar saja” Aku membulatkan mataku, ketika mendengar alasan Andra. Ayah dan ibu sama terkejutnya denganku. Apa yang ada dipikiran Andra?.
“Memangnya, mau pergi kemana?” Tanya ibu.
“Tidak jauh kok bu”
“Andra cuman mau minta anter beli buku saja sama Rachel” Dia tersnyum.
“Ada apa Andra?” tanya ayahku dengan ramah.
“Pak, saya mau meminta izin membawa Rachel keluar, sebentar saja” Aku membulatkan mataku, ketika mendengar alasan Andra. Ayah dan ibu sama terkejutnya denganku. Apa yang ada dipikiran Andra?.
“Memangnya, mau pergi kemana?” Tanya ibu.
“Tidak jauh kok bu”
“Andra cuman mau minta anter beli buku saja sama Rachel” Dia tersnyum.
Agak lama orangtuaku menjawab pertanyaan Andra. Selama ini belum pernah ada orang yang meminta izin kepada orangtuaku untuk mengajakku keluar. Aku tersenyum kagum kepada Andra. Dia hanya terdiam sekarang, menunggu sepatah kata yang keluar dari orangtuaku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa mendengar keputusan dari orangtuaku.
“Baiklah, jangan terlalu lama tapi ya Dra” ucap ayahku sambil tersenyum.
“Kalau ada apa-apa telepon ibu saja ya Dra” Lanjut ibuku.
“Tenang bu, Rachel aman kok”
“Kalau ada apa-apa telepon ibu saja ya Dra” Lanjut ibuku.
“Tenang bu, Rachel aman kok”
Aku langsung pergi ke kamarku, lalu berganti baju. Andra sudah menunggu di mobilnya. Dia menyuruhku masuk. Dia tersenyum ke arahku. Aku hanya mengangkat alisku.
“Kita beneran mau beli buku?” aku bertanya disela radionya yang menyala. Dia mengecilkan volume radio itu.
“Nggak, kau maunya apa?” dia malah bertanya balik.
“Aku?” dia mengangguk.
“Apa ya?”
“Emm, terserah deh aku bingung” lanjutku.
“Oke”
“Nggak, kau maunya apa?” dia malah bertanya balik.
“Aku?” dia mengangguk.
“Apa ya?”
“Emm, terserah deh aku bingung” lanjutku.
“Oke”
Perlahan mobil yang dikendarai Andra sampai di parkiran sebuah mall. Aku berpikir mungkin dia benar-benar mengajakku ke toko buku. Tapi ketika kami mulai masuk dia malah mengajakku ke tempat arena bermain.
“Kau ingat kan keinginanmu” Aku mengangguk, lalu tersenyum ke arahnya.
Ketika kami menginjakkan kakiku di arena bermain. Andra lansung menarik lenganku untuk bermain sebuah permainan basket. Aku hanya tersenyum dan mengikuti permainannya. Aku kalah dari Andra, dia terus mengejekku. Aku mendecak sebal sambil berpura-pura marah kepadanya.
“Jangan marah dong” dia menggodaku.
“Maaf deh” lanjutnya.
“Kalau kau mau kumaafkan menangkan boneka itu” aku menunjuk ke sebuah permainan boneka yang di dalamnya terdapat sebuah boneka panda yang lucu.
“Kau ingat kan keinginanmu” Aku mengangguk, lalu tersenyum ke arahnya.
Ketika kami menginjakkan kakiku di arena bermain. Andra lansung menarik lenganku untuk bermain sebuah permainan basket. Aku hanya tersenyum dan mengikuti permainannya. Aku kalah dari Andra, dia terus mengejekku. Aku mendecak sebal sambil berpura-pura marah kepadanya.
“Jangan marah dong” dia menggodaku.
“Maaf deh” lanjutnya.
“Kalau kau mau kumaafkan menangkan boneka itu” aku menunjuk ke sebuah permainan boneka yang di dalamnya terdapat sebuah boneka panda yang lucu.
(Cerpen Karangan:Alfiah Sundara)
Aku mendorong tubuh Andra ke permainan itu. Dia memasukkan koinnya. Lalu perlahan dia menggerakkan pencapit di permainan itu. Beberapa kali dia gagal, tapi entah kenapa dia sangat keras kepala untuk memenangkan boneka itu. Padahal aku sudah bilang bahwa aku sudah memaafkannya.
“Andra, sudah yu main yang lain aja aku bosan” rengekku.
“Andra…” rengekku lagi.
“Baiklah, ayo kita main yang lain” ucapnya sambil sedikit tertawa.
“Andra, sudah yu main yang lain aja aku bosan” rengekku.
“Andra…” rengekku lagi.
“Baiklah, ayo kita main yang lain” ucapnya sambil sedikit tertawa.
Kami bermain penuh tawa. Belum pernah kurasakan itu sebelumnya. Aku merasakan hatiku tidak kosong lagi. Sangat hangat saat itu. Kurasakan kepalaku sedikit pusing. Aku dengan refleks memegang lengan Andra, karena tiba-tiba penglihatanku gelap lalu terang kembali.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya. Aku hanya menatapnya.
“Rachel…” dia memanggilku dengan suara khawatir
“Kita pulang saja yu” akhirnya aku bersuara.
Andra mengangguk lalu membantuku untuk berjalan.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya. Aku hanya menatapnya.
“Rachel…” dia memanggilku dengan suara khawatir
“Kita pulang saja yu” akhirnya aku bersuara.
Andra mengangguk lalu membantuku untuk berjalan.
Di perjalanan Andra mengemudi dengan sedikit cepat, dapat kurasakan semburat kekhawatiran pada dirinya.
“Andra” aku memanggilnya lirih. Dia sedikit menoleh kepadaku.
“Pelan saja” lanjutku.
“Apa kau baikan?” dia tetap menatap lurus ke depan.
“Aku sudah lebih baik” dia memperlambat kecepatannya.
“Andra” aku memanggilnya lirih. Dia sedikit menoleh kepadaku.
“Pelan saja” lanjutku.
“Apa kau baikan?” dia tetap menatap lurus ke depan.
“Aku sudah lebih baik” dia memperlambat kecepatannya.
Dia terus menanyakan keadaanku, meskipun sudah beberapa kali kujawab. Kini Andra memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Aku menatap Andra bingung. Dia keluar dari mobil lalu membukakan pintu mobil untukku dan membantuku berjalan, tapi aku menolaknya sekarang. Dia menyuruhku berdiri di sana, lalu melebarkan kakiku sambil menghadap jalan.
“Kau berdiri di dua tempat sekarang”
“Jika kau melangkah kesini kau ada di Dago dan jika kau melangkah kesana kau bukan lagi di Dago” Lanjutnya.
Dia tersenyum ke arahku. Mataku memanas tapi kali ini aku tak bisa menahan air mataku untuk jatuh. Aku menunduk supaya Andra tak melihatnya. Kurasakan tangannya mengangkat kepalaku lalu mengusap air mata yang mengalir di pipiku dengan lembut. Dia tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya di sela tangisku.
“Jika kau melangkah kesini kau ada di Dago dan jika kau melangkah kesana kau bukan lagi di Dago” Lanjutnya.
Dia tersenyum ke arahku. Mataku memanas tapi kali ini aku tak bisa menahan air mataku untuk jatuh. Aku menunduk supaya Andra tak melihatnya. Kurasakan tangannya mengangkat kepalaku lalu mengusap air mata yang mengalir di pipiku dengan lembut. Dia tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya di sela tangisku.
(Cerpen Karangan:Alfiah Sundara)
Sudah enam hari Andra tidak mengunjungiku lagi. Terakhir dia mengunjungiku hanya untuk mengatakan bahwa dia akan fokus untuk UAS dulu, dan berjanji akan mengunjungiku lagi. Kali ini aku merasa sangat lemah. Aku menatap selang infus yang menempel di lenganku. Aku tersenyum kecut. Sangat sepi di ruangan ini, hanya ada ibuku yang menemaniku. Suara ketukan pintu terdengar. Ibuku beranjak dari sofa lalu membuka pintu.
“Eh Mir” ucap Ibuku. Aku menatap sosok yang datang.
“Hai Rachel, bagaimana keadaannya sekarang?” dia tersenyum.
“Ini Tante bawain ini” Lanjutnya sambil menunjukkan sekeranjang buah.
“Terimakasih, baikkan kok tante” ucapku, aku masih mencari sosok Andra.
“Maaf ya Andra gak bisa ikut, tadi asalnya mau ikut, cuman dipanggil gurunya ke sekolah lagi” ucapnya, seolah dia bisa membaca pikiranku.
“Di panggil kenapa memangnya?” Tanya ibuku sambil memberikan segelas air dan beberapa cemilan kepada Tante Mira.
“Dia menolak study pertukaran pelajaran ke Australia, aneh kan Rachel?” Tante Mira menatapku
“Iya” ucapku sedikit berpikir.
“Hai Rachel, bagaimana keadaannya sekarang?” dia tersenyum.
“Ini Tante bawain ini” Lanjutnya sambil menunjukkan sekeranjang buah.
“Terimakasih, baikkan kok tante” ucapku, aku masih mencari sosok Andra.
“Maaf ya Andra gak bisa ikut, tadi asalnya mau ikut, cuman dipanggil gurunya ke sekolah lagi” ucapnya, seolah dia bisa membaca pikiranku.
“Di panggil kenapa memangnya?” Tanya ibuku sambil memberikan segelas air dan beberapa cemilan kepada Tante Mira.
“Dia menolak study pertukaran pelajaran ke Australia, aneh kan Rachel?” Tante Mira menatapku
“Iya” ucapku sedikit berpikir.
Aku berusaha untuk duduk menyender, dibantu ibuku. Ibuku melanjutkan mengobrol dengan Tante Mira. Aku merasa bosan sekarang, kulirik sekeliling kamar rawatku. Sebuah buku telepon beserta bolpoint tergeletak di meja dekat ranjang. Tanganku menyambar buku dan bolpoint itu, dan mulai menulis atau mencoret-coret tak jelas. Terdengar suara ketukan pintu lagi tapi kali ini pintu itu langsung terbuka. ‘Andra’. Aku langsung tersenyum ke arahnya.
“Untung ada Andra”
“Ibu dan Tante Mira mau ke lobi dulu sebentar ya” Aku mengangguk. Mereka keluar kamar rawatku.
“Kau sedang apa?” tanyanya sambil duduk di kursi samping tempat tidur.
“Coba aku lihat” lanjutnya.
“Cuma coretan kok Dra” aku tidak memberikan buku itu kepada Andra.
“Ohh”
“Aku bawa ini nih” dia memberikan sebuah boneka panda yang waktu itu.
“Kau berhasil mendapatkannya” ucapku antusias sambil memegang boneka itu. Dia mengangguk sambil tersenyum.
“Terimakasih, kau melakukan banyak hal untukku”
“Ah, apa sih Hel” dia mengelak.
“Oh ya, kau terpilih pertukaran pelajar kan, kenapa kau menolaknya”
“Itu kesempatan langka loh Andra” lanjutku.
“Tidak, aku hanya ingin menemanimu sampai sembuh saja” dia tersenyum.
“Andra tidak usah-”
“Aku tidak mau, pokoknya aku pengen di sini” dia memotong perkataanku.
“Jangan membujukku untuk pergi ya?” Kedua lensa cokelatnya menatapku lekat.
“Andra, aku gak mau merusak kesempatanmu, jadi pergilah…”
“Bahkan mungkin setelah keluar dari rumah sakit pun mungkin aku masih akan sakit” lanjutku.
“Kau tahu kan aku keras kepala” dia semakin dalam menatapku.
“Asal kau tahu kesempatan aku sembuh itu tipis, jangan jadikan aku sebagai beban untukmu Andra”
“Kau, bukan BEBAN untukku” ucapnya sedikit menekan kata beban lalu pergi keluar kamarku.
“Ibu dan Tante Mira mau ke lobi dulu sebentar ya” Aku mengangguk. Mereka keluar kamar rawatku.
“Kau sedang apa?” tanyanya sambil duduk di kursi samping tempat tidur.
“Coba aku lihat” lanjutnya.
“Cuma coretan kok Dra” aku tidak memberikan buku itu kepada Andra.
“Ohh”
“Aku bawa ini nih” dia memberikan sebuah boneka panda yang waktu itu.
“Kau berhasil mendapatkannya” ucapku antusias sambil memegang boneka itu. Dia mengangguk sambil tersenyum.
“Terimakasih, kau melakukan banyak hal untukku”
“Ah, apa sih Hel” dia mengelak.
“Oh ya, kau terpilih pertukaran pelajar kan, kenapa kau menolaknya”
“Itu kesempatan langka loh Andra” lanjutku.
“Tidak, aku hanya ingin menemanimu sampai sembuh saja” dia tersenyum.
“Andra tidak usah-”
“Aku tidak mau, pokoknya aku pengen di sini” dia memotong perkataanku.
“Jangan membujukku untuk pergi ya?” Kedua lensa cokelatnya menatapku lekat.
“Andra, aku gak mau merusak kesempatanmu, jadi pergilah…”
“Bahkan mungkin setelah keluar dari rumah sakit pun mungkin aku masih akan sakit” lanjutku.
“Kau tahu kan aku keras kepala” dia semakin dalam menatapku.
“Asal kau tahu kesempatan aku sembuh itu tipis, jangan jadikan aku sebagai beban untukmu Andra”
“Kau, bukan BEBAN untukku” ucapnya sedikit menekan kata beban lalu pergi keluar kamarku.
Sudah dua minggu aku dirawat di rumah sakit ini. Tapi sepertinya kondisiku semakin memburuk. Kini selang oksigen pun ada di hidungku. Sepertinya aku bertengkar lama dengan Andra hanya karena permasalahan itu. Sejak itu dia tak pernah menjungukku lagi sampai sekarang. Aku masih memejamkan mataku.
“Jadi kemonya kapan dok?” tanya ibuku.
“Kemoterapi akan dilakukan besok sore, tapi…” kurasa dokter itu menatap ke arahku berbaring. Aku berpura-pura tidur.
“Tapi, penyakitnya semakin mengganas, dan sulit untuk ditangani, kita hanya menunggu keajaiban”
Perkataan dokter itu terdengar jelas di telingaku. Tidak ada suara ibu berbicara. Dapat kutebak ibu pasti sangat syok mendengar itu. Sama denganku. Kuremas selimut yang kupakai, tapi masih dalam keadaan mata terpejam. Aku tak sanggup untuk melihat wajah ibuku sekarang. Kurasakan tangan hangat ibuku memegang tanganku lalu memeluk dan mencium punggung tanganku. Sedikit basah, kurasa dia menangis. Aku hanya beban untuk mereka. Terdengar suara seseorang masuk ke kamarku. Aroma parfum yang sangat kukenal, ‘Ayah’. Semakin tercium parfumnya, dia mengusap rambutku dengan sangat lembut.
“Kemoterapi akan dilakukan besok sore, tapi…” kurasa dokter itu menatap ke arahku berbaring. Aku berpura-pura tidur.
“Tapi, penyakitnya semakin mengganas, dan sulit untuk ditangani, kita hanya menunggu keajaiban”
Perkataan dokter itu terdengar jelas di telingaku. Tidak ada suara ibu berbicara. Dapat kutebak ibu pasti sangat syok mendengar itu. Sama denganku. Kuremas selimut yang kupakai, tapi masih dalam keadaan mata terpejam. Aku tak sanggup untuk melihat wajah ibuku sekarang. Kurasakan tangan hangat ibuku memegang tanganku lalu memeluk dan mencium punggung tanganku. Sedikit basah, kurasa dia menangis. Aku hanya beban untuk mereka. Terdengar suara seseorang masuk ke kamarku. Aroma parfum yang sangat kukenal, ‘Ayah’. Semakin tercium parfumnya, dia mengusap rambutku dengan sangat lembut.
Aku membuka mataku dengan berat. Silau lampu membuatku sedikit mengerjapkan mataku. Entah kenapa aku sangat lelah sekarang. Orangtuaku ada di hadapanku sekarang, beserta Andra. Aku tersenyum lemas ke arahnya. Sedikit sembap ketika aku melihat mata ibuku. Andra menatapku terdiam.
“Selamat ulang tahun sayang” Ibuku mencium keningku, air matanya mengalir di wajahnya. Ini hari ulang tahunku?.
“Ayah mendaftarkanmu di sekolah, jadi cepatlah sembuh” Ayahku mengusap lembut rambutku.
“Terimakasih Ayah”
“Ibu aku…”
“Lelah” ucapku terbata. Ibuku mengangguk air mata masih terus mengalir di wajahnya. Aku menatap ke arah Andra, aku berusaha menggambarkan seulas senyum di bibirku, walau sedikit. Matanya berkaca-kaca menatapku.
“Selamat ulang tahun sayang” Ibuku mencium keningku, air matanya mengalir di wajahnya. Ini hari ulang tahunku?.
“Ayah mendaftarkanmu di sekolah, jadi cepatlah sembuh” Ayahku mengusap lembut rambutku.
“Terimakasih Ayah”
“Ibu aku…”
“Lelah” ucapku terbata. Ibuku mengangguk air mata masih terus mengalir di wajahnya. Aku menatap ke arah Andra, aku berusaha menggambarkan seulas senyum di bibirku, walau sedikit. Matanya berkaca-kaca menatapku.
“Andra, kau ingat kan saat di balkon, aku tidak ingin menjadi beban untuk orang lain” suaraku terdengar sangat pelan dan lemah. Kurasakan penyakit ini semakin menguasai tubuhku, sakit yang kurasakan.
“Pergilah ke Australia, itu permohonanku di ulang tahunku” ucapku lirih. Dia mengangguk. Aku tersenyum.
“Ibu aku sangat lelah, aku ingin tidur lima menit saja” ucapku.
“Rachel, Selamat ulang tahun…”
“Cepat sembuhlah, kau ingat kan masih ada beberapa keinginanmu yang belum terkabulkan” Suara Andra mengisi indera pendengaranku.
Dia tersenyum sendu ke arahku. Aku ingin mengatakan sesuatu tapi tenggorokanku terasa tercekat. Kuangkat tanganku berusaha memegang lengan Andra, tapi aku terlalu lemas.
“Aku… ingin tidur… hanya lima menit” ucapku lirih bahkan sangat pelan.
Perlahan aku memejamkan mataku. Silau cahaya lampu itu seketika tergantikan menjadi kegelapan. Sangat lelah.
“Pergilah ke Australia, itu permohonanku di ulang tahunku” ucapku lirih. Dia mengangguk. Aku tersenyum.
“Ibu aku sangat lelah, aku ingin tidur lima menit saja” ucapku.
“Rachel, Selamat ulang tahun…”
“Cepat sembuhlah, kau ingat kan masih ada beberapa keinginanmu yang belum terkabulkan” Suara Andra mengisi indera pendengaranku.
Dia tersenyum sendu ke arahku. Aku ingin mengatakan sesuatu tapi tenggorokanku terasa tercekat. Kuangkat tanganku berusaha memegang lengan Andra, tapi aku terlalu lemas.
“Aku… ingin tidur… hanya lima menit” ucapku lirih bahkan sangat pelan.
Perlahan aku memejamkan mataku. Silau cahaya lampu itu seketika tergantikan menjadi kegelapan. Sangat lelah.
(Cerpen Karangan:Alfiah Sundara)
For my first love
When I’m dreaming of
When I go to bed
When I lay my head upon my pillow
Don’t know what to do
My first love
He thinks that I’m too young
He doesn’t even know
Wish that I coud show what I’m feeling
Cause I’m feeling my first love
When I’m dreaming of
When I go to bed
When I lay my head upon my pillow
Don’t know what to do
My first love
He thinks that I’m too young
He doesn’t even know
Wish that I coud show what I’m feeling
Cause I’m feeling my first love
Sebuah lirik lagu terdapat di coretan buku telepon. Ini sudah lebih dari lima menit, bahkan ini sudah berganti bulan, Rachel tidak menepati janjinya untuk bangun. Bahkan dia mungkin tidak akan pernah bangun lagi. Masih ada beberapa keinginannya yang belum terpenuhi tapi dia malah tertidur bersama permohonan-permohonan yang dia bilang bodoh itu. Dia meninggalkan beberapa kenangan yang mungkin tersimpan rapih di ruang hati Andra dan orangtuanya. Dia pasti tenang dan bahagia disana.
Cerpen Karangan: Alfiah Sundara
Facebook: Alfiah Sundara
Facebook: Alfiah Sundara
0 Response to "Cerpen Pramuka | Pulang - Alfiah Sundara"
Post a Comment